Pages

Friday, 7 March 2014

Berbagi dalam Kekurangan

sebelumnya di Youth Adventure....

Setelah bermalam di Pesantren, kami berjalan kaki ke terminal Jombor untuk melanjutkan perjalanan ke Purworejo. Sesampainya di terminal Jombor, ternyata tidak ada bus langsung yang berangkat dari sana ke Purworejo. Berkat saran dari Pak Margi, sang pengurus terminal, kami akhirnya menyambung bus ke Pasar Gamping.

Sesampainya di pasar Gamping, kami sepakat untuk tidak langsung berangkat ke Purworejo, tetapi mencari modal dulu dengan berjualan baju balita yang dibekali oleh panitia sebelum kami dilepas. Aulia dan Airlangga berkeliling pasar, sementara aku bertugas menjaga tas-tas kami yang berisi baju untuk 10 hari.

Aku menghamparkan 1 baju balita di atas tas kami, berharap sambil menunggu ada Ibu-ibu yang tertarik untuk membeli. Benar saja, seorang ibu penjual buah naga yang duduk di seberangku menghampiri, dan bertanya. Setelah menjelaskan panjang lebar kenapa kami perlu uang, si Ibu berusaha menawar lebih murah dari harga yang kami berikan. Aku sebenarnya kasihan juga dengan si Ibu dan tidak berani meminta ia membeli. Yah, diajak ngobrol aja deh, dari pada bengong nungguin tas. Cerita punya cerita, ternyata kehidupan si Ibu udah mirip sinetron (istilah ini keluar dari si Ibu sendiri). Si Ibu dari keluarga miskin, lalu anaknya menikah dengan anak orang kaya. Setelah pernikahan anaknya, si keluarga besan meremehkan dan menginjak-injak si Ibu. Suami si Ibu juga sudah meninggal karna sakit. Walaupun begitu, si Ibu bersyukur bisa melalui yang ia sebut sebagai ujian hidup itu. Sekarang, keluarga besannya sudah lebih baik. Si Ibu juga bercerita, kalau kemarin ia tidak berjualan karena ada tetangganya yang meninggal sehingga buah naga yang seharusnya dijual kemarin belum terjual.

Beberapa waktu kemudian, Airlangga dan Aulia kembali ke tempatku. Airlangga menjelaskan kalau kami harus mengembalikan modal panitia sebesar Rp.15.000 jadi kalau di jual Rp.20.000 sebenarnya kami hanya dapat uang Rp. 5000. Si Ibu terlihat ragu-ragu tapi tetap saja memegang baju itu.

“Saya ga punya anak kecil sih, anak ponakan saya juga ga tau ini muat apa ngga.” Sebenarnya, si Ibu tidak benar-benar butuh baju itu. Namun, akhirnya si Ibu mengeluarkan uang Rp. 20.000 dan kami sangat senang (bercampur rasa segan juga sih karena tahu jualan si Ibu yang kemarin belum laku). Si Ibu bilang, “Saya ngebayangin, anak saya di sana juga dibantu orang”. Si Ibu, lalu dengan semangat menawari kami makan buah naga yang ia jual. “Ga papa kok, ambil aja! Beneran dek, ambil aja. Buahnya masih banyak kok!” Dengan sangat segan, akhirnya kami mencicip buah naganya. Satu buah dibagi 3. Enak sekali! Setelah makan buah naga, Aulia dan Airlangga kemudian kembali berkeliling pasar dan aku kembali ngobrol dengan si Ibu.

“Yah, itulah ujian hidup ya. Anak saya dulu berhenti kuliah, dan kerja di Papua. Waktu balik baru lanjutin lagi.” Si Ibu bercerita tentang anak pertamanya.

“Keren dong Bu! Sekarang udah kerja di Newmont!” aku berusaha menghibur.

“Iya, yang satu ga kerja, tapi usaha bikin batako di rumah” lanjut si Ibu.

“Loh, itu kan juga kerja Bu. Usaha sendiri, hebat lagi sudah punya anak buah.” Aku dalam hati bersyukur, anak-anak Ibu ini ternyata juga pejuang hidup yang tangguh.

Hari sudah menunjukkan pukul  sebelas siang, si Ibu harus pulang ke rumah untuk memasak. Ibu memberikan 5 buah naga yang besar-besar secara paksa. Ya ampun Ibu ini, pikirku untuk dapat dua puluh ribu rupiah, mungkin Ibu ini harus menjual beberapa buah naganya, dan itu tidak gampang. Di seberang pasar umum ini ada sebuah pasar khusus buah yang menjual buah naga jauh lebih murah dan kualitasnya bagus. Orang yang berbagi karena dia berkecukupan itu biasa, tapi si Ibu berbagi ditengah kekurangannya. Dari Ibu Sulartini, si penjual buah naga, kami belajar bahwa kekurangan bukan alasan untuk tidak berbagi.

Terima kasih Bu Sulartini!



No comments:

Post a Comment