Pages

Friday 22 April 2016

Gaya Hidup Menghargai Bumi ala Mahasiswa

Beberapa bulan tinggal di negeri orang, ada banyak gaya hidup sehari-hari saya yang berubah. Nah, dalam rangka memperingati hari bumi, saya mau berbagi beberapa kebiasaan yang saya lakukan selama di sini yang menurut saya sih lebih menghargai bumi (dan juga dompet, hehehe). Syukur-syukur bisa terus berlanjut kalau nanti pulang ke Indonesia.

1. Bawa bekal
Selama di sini, hampir setiap hari saya bawa bekal makan siang, makan malam dan buah. Biasanya kalau pagi, makan yang simpel kayak roti atau cereal sambil masak bekal. Kenapa bawa bekal termasuk kebiasaan menghargai bumi? Dengan bawa bekal kita otomatis juga mengurangi penggunaan plastik, kertas, botol, atau cup tempat makan dan minuman yang kita beli di luar. Semakin ke sini saya juga malah sering bawa teh atau kopi sendiri dari dimasukin ke vacuum flask biar tahan lama panasnya. Mungkin, kalau kamu suka beli kopi di luar, tipsnya juga bisa bawa travel mug sendiri, jadi ngurangin penggunaan cup sekali pakai.


2. Hunting thrift shop

Sebenarnya dulu pas mahasiswa juga seneng banget kalau diajakin temen-temen hunting baju bekas di Senen, Nah, waktu sampai di sini buanyak banget toko barang bekas yang hasil penjualannya disumbanging buat charity. Wah, ini mah sekali mendayung 10 pulau terlampaui. Beli barang bekas juga menurut saya menghargai bumi, soalnya bahan tekstil buat baju, atau sepatu dan tas juga pasti di ambil dari alam. So, kalau bisa dapat barang bagus, murah, sekalian berdonasi dan menghargai bumi kenapa tidak? Seperti gambar di samping, semua yang saya pakai adalah barang bekas kecuali sepatu...hehehe...dan 1 barang yang saya pakai itu harganya kurang dari Rp.20.000

3. Bawa plastik belanja atau totebag sendiri
Sistem yang memberlakukan plastik berbayar di sini lumayan pengaruh terhadap gaya hidup saya. Kemana-mana di dalam tas pasti nyimpen 1 plastik bekas atau totebag buat kalau-kalau harus belanja.

4. Kotak sepatu
Beberapa kali belanja sepatu, saya juga bilang ke pramuniaganya ga usah pakai kotak. Berhubung saya malas nimbun kotak sepatu dan ga nyimpen sepatu dalam kotaknya, jadi saya pikir mending di tinggal aja di tokonya, sekalian hemat kotak...hehehe...

5. Buku bekas
Selain thrift shop atau charity shop, saya juga suka banget main di second-hand book shop. Duuuh, ini paling tak tertahankan. Bisa dapat 5 buku keren dengan harga kurang dari Rp.20.000. Sejauh ini saya udah nimbun puluhan buku bekas di kamar, dan ini sebagian dari buku-buku itu. Buku-buku klasik kayak gini pasti akan terus dicetak dan itu otomatis menambah penggunaan pohon untuk pembuatan kertas. Nah, hunting buku bekas ini juga selain seru, hemat, dapat cetakan klasik, juga tidak menambah kontribusi penggunaan kertas di bumi ini.

6. Baca jurnal di laptop
Duh, ini paling susah sebenernya. Soalnya materinya bahasa asing, kadang ga ngerti dan harus bolak balik baca. Sebenernya kalau dulu prefer untuk nge-print tapi berhubung ngeprint mahal karena dalam sekali pembuatan tugas essay butuh lebih dari 30 jurnal, yang kalau harus di print semua berarti bangkrut dan nambah penggunaan kertas yang habis itupun ga tau mau diapain. Jurnal pdf justru malah jadi membantu saya mengatur database di laptop saya, tetap bisa dihighlight ketika baca dan juga mudah saat membuat daftar referensi di akhir tugas karena bisa di-synchronize dengan aplikasi pembuat daftar referensi. 

7. Sapu tangan pengganti tissue
Sudah beberapa bulan terakhir saya ga beli tissue travel pack yang dulu biasanya selalu ada di tas. Sekarang saya selalu bawa sapu tangan. Lagi-lagi, biaya beli tissue kepotong daaaan ngurangin penggunaan tissue :)

Nah, itu hal-hal sehari-hari  a la mahasiswa yang jadi kebiasaan saya di sini.
Gimana dengan kamu? 

Selamat hari bumi!



Monday 4 April 2016

Sakura di Eropa?

Terkadang pikiran kita sendiri yang membatasi dan menghalangi diri kita untuk melihat hal-hal lain yang tidak biasa di dalam hidup ini dan stereotipe terkadang menjadi tembok penghalang. Kita termakan kata ‘biasanya’. Biasanya di sini begini dan biasanya di sana begitu. 

Track record travelling saya mungkin ga sebanyak teman-teman lain, tapi semakin banyak saya berjalan ke tempat berbeda, semakin terbuka pikiran saya, termasuk tentang stereotipe, kali ini tentang bunga! Hingga minggu lalu, saya masih percaya jika ingin melihat tulip maka saya harus ke Belanda, dan jika ingin melihat Sakura maka saya harus ke Jepang.

Saya benar-benar SALAH! Saya termakan cerita orang dan membangun stereotipe di dalam pikiran saya bahwa Tulip adalah Belanda dan Sakura adalah Jepang. Beberapa waktu lalu, seorang teman (Doki) mengirimkan foto tulip dari Swiss. Beberapa hari lalu saya melihat pohon Sakura di Sheffield, UK. Saya ragu sekali kalau itu sakura sampai malam harinya mencari informasi di google tentang bunga sakura. Ternyata benar, di Eropa, bunga ini dikenal sebagai Cherry Blossoms. Sebelumnya saya memang sempat melihat bunga serupa di salah satu kampus University of Manchester, tapi saya kira itu bunga musim semi yang cuma mirip sakura. Ketika perjalanan pulang dari Sheffield ke Manchester, saya melihat di pinggir jalan juga ada si Cherry Blossoms. Daaan, kagetnya ternyata di dekat rumah saya juga ada! Selama ini ga pernah tahu karena botak selama musim gugur dan musim dingin.

Sakura dekat rumah


Sakura di Peace Garden, Sheffield


Saya merasa pemikiran dan pengetahuan saya sempit sekali dan saya malu sendiri. Selama ini saya membangga-banggakan alamnya Indonesia ke teman-teman saya. Tapi saya baru menyadari, alam negara lain juga indah. Cuma, indahnya secara berbeda! 

Perjalanan kali ini membuat saya untuk menghargai tempat yang saya datangi dengan apa adanya dan tidak perlu berbangga hati jika menemukan tempat yang menurut kita saat itu indah banget karena kita tidak pernah tahu, di bagian lain di dunia ini ada juga tempat yang punya hal yang sama, atau malah lebih indah. Perjalanan lebih nikmat dengan tidak termakan kata orang, menjadi netral dan menghargai apa yang kita lihat di sekitar.