Pages

Friday 21 February 2014

The Monk Who Sold His Ferrari by Robbin S. Sharma


Source
The surest thing in voluntary activity is you won't get money, but you will get more than it, I have proven it! I got this book from volunteering activity. Last year, I helped the Drive Books Not Cars event to sort the second-hand books donation. As the bonus, the volunteers were allowed to choose the books they were interested in before they were sold in Drive Books Not Cars bazaar in eX Plaza, Jakarta, the next day. Oh, I couldn't miss this opportunity. I dug into those pile of books and chose 10 among 6000 books. Surprisingly, they billed me Rp.100.000,- only for all those books! It was like finding a treasure! Moreover, the content of the books are enlightening!


This book is a story about an amazing success litigator (lawyer) named Julian  Mantle and written from John's point of view, a friend who learns from Julian's wisdom. He was tough, hard-driving and willing to work eighteen-hour days for the success he believed was his destiny (John). After years of damn-workaholic lifestyle, Julian got a heart attack in a courtroom. He was about to die. This experience became a turning point for Julian to re-think about his life. Then, he sold his ferrari and went to Himalaya to learn from a sage who lives there. 

Every page brings lessons, so I suggest you not to finish it at once. Enjoy every part of it, and re-think after you finish the part. Maybe, there are principles in this books that contradict with yours. Take your time to think. Like Julian said:
But remember, some books are meant to be tasted, some books are meant to be chewed and, finally, some books are meant to be swallowed whole.
Me, my self got enormous amount of wisdom in this books, and make me think.
Some of my favorite quotes of this book:
"Your vision will become clear only when you can look into your heart. Who looks outside, dreams; who looks inside, awakens." 
"We might not be able to control the weather or the traffic or the moods of all those around us. But, we most certainly can control our attitude towards these events." 
"Your I can is more important than your I.Q" 
"There are no mistakes in life, only lessons. Even pain can be a wonderful teacher." 
"I have had dreams and I have had nightmares. I overcame the nightmares because of my dreams (Jonas Salk)"
"The mind is a wonderful servant but a terrible master." 
" Your passion must, in some way, improve or serve the lives of others." 
"By the time most people figure out what they really want and how to go about attaining it, it's usually too late."
Many more nourishing food for your mind is served in this book. I highly recommend you to taste and chew this book. At the end, you are the one who decide if you will swallow it or not :)


"Books do not actually teach you anything new. 
Books simply help you to see what is already within your self.
That's what enlightenment is all about"
(The Monks Who Sold His Ferrari)

Tuesday 18 February 2014

Si Kristen dan Pesantren

Aku, Aulia, dan Airlangga terbahak-bahak saat kami menyadari kaki kami bengkak karena perjalanan melelahkan dari Yogyakarta-Sleman-Purworejo-Jakarta dengan modal tiga ratus ribu rupiah untuk bertiga. Namun, bukan tentang kaki yang bengkak yang hendak ku ceritakan dalam halaman ini, tetapi mengenai inspirasi yang membengkak akibat perjalanan ini. Perjalanan ini tidak hanya sekedar berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga perjalanan ke dalam diri sendiri dalam rangka mengenal diri sendiri atau yang disebut sebagai ‘ziarah diri’

Kami adalah 3 dari antara 47 peserta Youth Adventure dan Youth Leaders Forum 2014 yang diadakakan oleh Gerakan Mari Berbagi.  Sesuai nama gerakannya, maka petualangan yang kami lakukan juga bertema berbagi. Di kota pertama yaitu Sleman, kami melakukan yang namanya Ziarah Pengemis, dimana kami harus meminta berbagai bantuan dari orang lain agar dapat makan dan beristirahat serta punya sumber daya yang cukup untuk melakukan perjalanan selanjutnya ke Purworejo dan Jakarta. Sedangkan di kota kedua, yaitu Purworejo, kami diharuskan melakukan kegiatan berbagi dengan orang lain, atau yang disebut Ziarah Penderma. Di dalam bus malam Purworejo menuju Jakarta, momen-momen inspiratif itu berkelabut di kepalaku, menjadi penawar rasa lelah dan bosan berbelas-belas jam duduk di dalam bus.

Di dalam kepalaku, aku kembali ke titik itu. Titik dimana aku berdiri di depan sebuah pondok pesantren di Sleman. Aulia dan Airlangga sudah maju beberapa langkah di depanku. Entah mereka tahu atau tidak, aku terguncang saat itu. Aku sangat takut. Sekuat tenaga, aku mengontrol emosiku. Aku adalah seorang yang beragama Kristen dan aku sebisa mungkin menghindari pemeluk agama Islam yang ku anggap fanatik, termasuk orang-orang pesantren. Jauh sebelum titik ini, aku mengalami hal yang tidak menyenangkan dan sampai sekarang masih aku ingat. Waktu itu, aku masih duduk di bangku SMP. Salah satu guru agama Islam di sekolahku sepertinya sangat benci dengan orang Kristen. Tiap kali beliau masuk kelas, ia pasti akan bercerita dengan banyak sindiran terhadap orang Kristen. Menit-menit sangat menyiksa dan aku seperti sedang ditertawakan oleh teman-teman sekelasku. Setelah cerita itu selesai, barulah kami yang non-muslim diperkenankan keluar kelas. Hal itu terjadi sangat sering selama 2 tahun ia mengajar di kelasku. Ini membuat hari dimana ada pelajaran agama Islam menjadi sangat menakutkan bagiku. Sampai suatu hari, ada rapat OSIS di dalam musholla sekolah dan beliau berdiri di dekat pintu. Karena tidak berani masuk ke musholla, aku hanya berdiri sebentar didekat sepatu-sepatu diletakkan dan setelah itu dengan dada sesak dan mata basah aku pergi dan tidak mengikuti rapat. Sejak masa-masa itu, aku menjadi sangat tidak nyaman dengan pemuka agama Islam. 

Ketakutan akan rasa ditolak, disalahkan, dianggap najis, kafir, dipojokkan menyelimuti hatiku. Otakku pun mendukung dengan logikanya: “kenapa harus ke pesantren, toh kami sebenarnya sudah mendapatkan izin menumpang di kontrakan temanku di Sleman".

Tiba-tiba Aulia bertanya “Kakak, ga apa-apa Kak?”

Aku bingung sebenarnya harus menjawab apa. Aku berusaha berdialog dengan diriku sendiri. “Mungkin ini adalah tantangan pertama untuk melawan ego mu. Kamu harus keluar dari zona nyamanmu, dan coba lihat ada apa di dalam sana” ucapku dalam hati.

Aku kemudian menjawab Aulia dengan pelan, “Ga apa-apa.”

Setelah beberapa menit berdiri di luar, kami di sambut oleh seorang santri. Pergulatan di dalam diriku belum selesai. Ada bagian diriku yang berharap, semoga kami tidak bisa menginap di pesantren. Airlangga kemudian menjelaskan kondisi kami saat itu kepada Santri dan Istri sang Ustadz. Aku masih berharap kami tidak tidur di sana. Beberapa saat kemudian, Airlangga masuk ke ruangan tempat kami menunggu dan memberi kabar bahwa kami diizinkan menginap. Bukannya senang, aku malah kecewa. Aku masih takut.

Menit demi menit berlalu, kami disambut hangat oleh Istri Sang Ustadz. Keramahan beliau sedikit memberi ketenangan di dalam hatiku yang sedang riuh. Kami disuguhkan minum, makan, cemilan, dan yang terpenting senyum yang tidak berhenti menyungging di wajah si Ibu. Beberapa lama kemudian Ustadz datang, dan dengan keramahan yang sama ia menemani kami. Malam berganti pagi, dan kami harus bersiap meninggalkan kota Sleman untuk menuju Purworejo. Sebelumnya seorang santri, memberikan kami sarapan bubur gudeg yang lezat. Lezat sekali karena terasa tulusnya. Selama interaksi yang terjadi dengan Ibu, Ustadz, dan Santri, tidak ada rasa risih yang mereka tampakan ketika aku berada di dekat mereka. Ketika Ustadz bicara pun, ia menanyakan namaku dan melibatkan aku dalam pembicaraan.

“Pluralitas adalah kenyataan kehidupan yang harus kita hargai. Binatang saja kita rawat, apalagi saudara kita sesama manusia, tidak ada alasan untuk menolak saudara yang berbeda keyakinan.“ ujar Ustadz.

Dari Ustadz, aku belajar bahwa kita boleh menceritakan iman kita kepada orang lain, tetapi tidak dengan memaksa dan tidak menjelekkan kepercayaan orang lain. Ya, masalah perbedaan bukanlah bagaimana memaksa agar kita menjadi sama, tetapi bagaimana kita menerima perbedaan itu.

Di dalam pesantren, aku seorang Kristen, memaknai apa itu berbagi dalam perbedaan.