Pages

Tuesday 3 October 2017

Warteg Diskriminasi

Beberapa hari lalu, saya makan di warteg dekat kantor bersama seorang teman. Tiba-tiba seorang anak kecil umurnya sekitar 6 tahun, datang ke samping kami dan meminta uang. Adik ini terlihat ga asing. Saya ingat, si adik adalah adik yang sering menghampiri Kak Agus kalau kami sedang ada acara kumpul-kumpul di sekitar Taman Amir Hamzah. Kak Agus sering cerita, si adik sering dipukuli dan belum boleh pulang kalau belum membawa sejumlah uang untuk orang tuanya.

Sudah terbiasa dengan kampanye Sahabat Anak untuk tidak memberikan anak jalanan uang, dan juga terinspirasi dari Kak Agus yang sering belikan makanan untuk si adik ini, akhirnya hari itu saya juga menawarkan si adik untuk makan. Dia semangat sekali dan bertanya apakah dia boleh makan ayam (Duh, nyes rasanya!).

Singkat cerita, si adik pesan es teh manis dan bilang nasinya dibungkus saja. Tapi saya perhatikan, si teteh yang melayani makanan dan minuman tidak kunjung mengantarkan pesanan si adik. Orang-orang yang datang semakin ramai. Permintaan si adik tidak digubris. Akhirnya saya marah ke para pelayan di warteg itu.

"Mba, ini kesian loh adiknya, udah dari tadi bolak-balik pesen. Ini kita sudah selesai makan tapi blom dateng juga pesenannya. Jangan mentang-mentang anak kecil terus kelihatan ga punya uang jadi diremehin gitu dong."

Akhirnya kedua teteh-teteh itu segera bergerak. Yang satu membuat teh, yang satu membungkuskan makanan.

Erghh kesal sekali hari itu.

Jadi pelajaran untuk kita semua ayo belajar untuk tidak mendiksriminasi orang lain, apalagi dari segi umur, status sosial pendidikan, penampilan dll.


Friday 1 September 2017

Kepada Huruf Aku Mengadu

Biarlah kepada huruf-huruf ini saja aku mengadu
karena bibir ini terlalu kelu, 
dan hatiku tersedu-sedu menahan pilu
entah karena rindu 
atau karena kita tak akan pernah satu

Kupikir aku setegar batu
baru tersadar olehku
betapa lemahnya aku
di kala berhadapan dengan semua tentangmu

Kasihmu adalah canduku
namun semua sudah berlalu
meninggalkan ku termangu
memohon dipulihkan oleh sang waktu





Tuesday 29 August 2017

Haunted

Countless teary nights I've been through
Tired of holding the secret that no one cares about
With all of my strength keeping this feeling only for myself
Because I'm the thing that may not appear, yet hurt inside

I always get haunted by the idea that I'm worthless
I'm probably just like a bottle of cold water in a fridge
Which you just pick up when you're thirsty
And left when the wine is served and friends are around.

The fake smiles and brightless eyes have been the decoration of my face
Strong legs have been my only friend to keep moving
To kill the times and drain my energy
So no chance for the haunted night to torture me again
I wish I could fall asleep without thinking much
and wake up with the new sunrise.

Sunday 28 May 2017

The Coffee Shop


Spending sometimes in a coffee shop has been one of my "must do list" when I visit a new place. I think coffee shop always has a certain charm.

So many people enjoying the time here.
The lovers, friends, social groups, business partner, or even individuals.

The combination of the smells of coffee, the sound of the coffee machine and the classy and comforting background music becomes the addictive ingredient that you won't get when you make your own coffee at home. 

Can you also imagine what's in every individual's mind when he/she sits there? I'm always wondering about that, as well as, how many ideas have popped up through group discussion or individual's contemplation. How many deals have been agreed in a coffee shop? How many works have been done in a coffee shop? I believe there's always a philosophical reason behind a coffee shop. That's what make a coffee shop has its soul, I bet.  

I consider a coffee shop is a romantic place as well, either with your partner or just with your books. Even when you're broken hearted, just bring your books, your earphone, and order a warm mochaccino and sit there until you're tired and sleepy. 

See how magical a coffee shop is? I wish one day, I can have one!

Saturday 27 May 2017

Respect Yourself!

At the end of the day, you have to stand for yourself
You are the one who needs to respect yourself
Your brain, your heart, your body, your energy, your mind.

Sometimes you are fooled by temporary distractions.
It's true that at the end of the day, people just think about their own business.
You treat them as the priority, but you just a complementary for them.
You suddenly realize that the world is not fair and you have to deal with it.
You might get hurt, but you are grateful at the same time.
You choose to stay strong, keep your head up, walk away from them.

It's not about the right way and wrong way you've chosen.
It's about consequences. 
You've been through the wrong way and you decided to go back to that intersection. 
On your way, there are so many stumbling blocks and holes, but you decide to stand up on your feet. 
Again and again.
No matter how many times you fall off because you just want to respect yourself!

Monday 24 April 2017

Ups and Downs

It's such a great feeling to see people that we haven't met for quite a while.
A lot of stories to share and proved that life is shifting.

Some people probably were in the bad circumstances when they met you for the first time but share a moving story in the future meeting. It convinces you to be grateful for where are you in now, know that everything will be better one day, and not to be arrogant if you are in a good life.




Sunday 23 April 2017

Investasi

Kata Mba Kendar, pergaulan itu adalah investasi. Kalau kita bergaul sama orang-orang yang membantu kita untuk mengeluarkan potensi maksimal diri kita, maka kita akan jadi orang yang luar biasa. Tapi, kalau kita bergaul dengan orang-orang yang cuma bikin kita stuck atau malah mundur, ya kedepannya jita akan begitu-begitu aja. So, invest your time with people who bring the best version of you. Begitu juga dalam mencari pasangan.

Hmm, di satu sisi aku setuju dengan apa yang Mba Kendar bilang. Tapi menurutku bukan berarti menghilangkan pergaulan sama sekali dengan orang yang ga punya jiwa yang sama. Siapa tahu mereka malah mendapat pandangan baru dari kita. Iya ngga sih?

Mungkin juga kita perlu batasan waktu. Kalau dalam waktu sekian lama tidak ada yang menjadi lebih baik, kenapa mesti dilanjutkan?

Friday 21 April 2017

Waktu


Waktu...
Cepat sekali kamu berlalu...
Aku jadi malu
Seringkali muncul keluhku
Padahal sebenarnya ku tak tahu apa yang kutuju

Waktu...
Tak bisakah kau menunggu?
Ikut diam ketika aku termangu
Melihat hidup yang seru
juga melambat ketika kepalaku berseteru

Waktu, 
Tunggu aku...
Akan kuselesaikan satu persatu....


Wednesday 19 April 2017

Lose


It's okay to lose.
Lose is not same as fail.

You've been a great role model.
You made mistake, yet you fixed it.

You are far from perfect, but you strive for the best.
You are sharp.
You are passionate.
You are fearless.
You are steady.

Thank you, dear you.
You win my heart!



Tuesday 18 April 2017

True Colors

No matter what the life brings to you.
No matter what is your belief.
No matter what you do for the living.
No matter how much money you have.
No matter how far you've been failing.

Just keep shining!
Show your true colors!
Take courage!
Because you are precious!
You are greater than what others think about you!
You are amazing just the way you are!




Monday 17 April 2017

Bandar Udara


Kalau saja bandara punya jiwa, pasti dialah makhluk paling tegar. 
Bayangkan saya tiap hari orang silih berganti dalam hidupnya membawa beragam emosi.

Ada yang sedih akan berpisah dengan orang terkasih.
Ada yang senang akan bertemu dengan orang terkasih.
Ada yang menitikkan air mata, harus pulang karena sebuah berita duka.
Ada yang tersenyum bahagia, harus pulang ke rumah yang nyaman.
Ada yang pusing karena harus bangun pagi untuk mengejar first flight dan meeting di luar kota.
Ada yang kelelahan karena baru pulang dari business trip yang menguras pikiran dan tenaga.
Ada yang bersemangat karena akan berlibur mengunjungi tempat baru.
Ada yang sulit move on dari indahnya tempat yang baru dikunjungi.

Ada yang meninggalkan.
Ada yang ditinggalkan.

Ada yang pergi untuk kembali.
Ada yang pergi dan tak kan bisa ditemui lagi.

Seperti malam itu kau peluk aku sambil bilang "see you" dan kubalas "jangan lupa bahagia!"

Sunday 16 April 2017

Bahagia dan Teman Jiwa

Setelah pengalaman kurang menyenangkan di malam hari, aku bangun cukup pagi agar bisa menggunakan kamar mandi (dimana aku harus berbagi dengan 9 orang roomate lainnya) dengan leluasa. Untungnya, barang-barangku sudah ku packing ulang di rucksack biru kesayanganku, sehingga selesai mandi aku langsung bisa meninggalkan kamar hostel dan menikmati sarapan di ruang makan. 

Aku agak kecewa karena selama sarapan tak ada tamu atau siapapun yang bisa aku ajak bicara. Ya, memang aku sedang travel sendirian, tapi biasanya sangatlah mudah menemukan teman (setidaknya teman bicara) di ruang makan, apalagi di hostel backpacker seperti ini. Akhirnya kupilih, peta kota untuk para turis yang tersedia di meja resepsionis sebagai teman makanku pagi itu. Kebetulan (atau parahnya), aku belum menentukan kemana aku akan pergi pagi itu. Sialnya, aku sangat bodoh dalam membaca peta! Ugh! 

Terpujilah orang-orang yang menciptakan aplikasi Google Trip! Penyelamat untuk para backpacker yang malam membuat itinerary sepertiku, sekaligus makhluk dengan kemampuan jongkok dalam membaca peta dan mengingat jalan. Jari-jariku menyentuh-nyentuh layar telepon pintarku, seirama dengan mulutku yang mengunyah roti tawar dengan selai kacang. Alih-alih mencari informasi tempat-tempat iconic di kota Amsterdam, kucari informasi tempat atau kegiatan yang disukai orang lokal.

Aha! Flee market dan second-hand book market! Buku, barang bekas, dan pasar! 3 kata kiriman dari surga buatku. Ku tandai tempatnya di googlemaps-ku dan aku siap berpetualang. Ku selesaikan teh hangatku, pakai coat, gendong rucksack, dan ku langkahkan kaki ke luar hostel! 

Melangkah, terus melangkah membuat badanku sedikit hangat. Tapi pipiku diterpa udara dingin Eropa di bulan Desember. Sekali-sekali kulilitkan scarf-ku di pipi sampai menutupi mulut. Setengah jam sudah aku berjalan, tapi tempat yang kutuju belum juga tiba. Yang konsisten dari pemandanganku selama perjalanan adalah orang-orang bersepeda dan kanal-kanal. Ugh, aku jadi teringat satu lagi kelemahanku. Aku tak bisa mengendarai sepeda. Aku ulangi. AKU TIDAK BISA MENGENDARAI SEPEDA! Hiks! 

Kuperiksa google maps ku, ah ternyata si pasar buku bekas tinggal 3 menit dari pijakan kakiku saat itu. Aku bersemangat melewati gang-gang bangunan yang kebanyakan miring di kota Amsterdam. Bangunanya miring karena terjadi pergeseran tanah dan ajaibnya rumah dan bangunan di sana tidak roboh. 

Tak lama kemudian, aku lihat ada tenda-tenda yang kupikir pastilah si pasar kaget tempat orang-orang menjual buku bekas. Ku dekati tenda-tenda itu dan benar saja sepanjang jalan tersebut telihat banyak sekali orang menjajakan buku di meja-meja. Sementara ada meja-meja kecil di jalan utama di antara stand-stand tersebut di mana para kakek-nenek yang menjual buku duduk-duduk menikmati kopi sambil bercengkrama. AH, BENERAN INI SURGA! 

Ku susuri setiap stand dan menikmati warna kecoklatan, design cover, judul, dan bahasa dari buku-buku itu. Cantik-cantik sekali! Untungnya aku sedang backpackeran dan tidak punya banyak space untuk membaca banyak buku. Aku singgah di sebuah tenda yang menjajakan kartu pos jadul dari museum-museum. Aku lihat satu persatu dan ku ambil 2 di antaranya. Setelah memutuskan mana yang akan kubeli, aku celingak celinguk mencari si penjual. Oh ternyata dia sedang melayani pengunjung lain. 

Seperginya pengunjung itu, Kakek yang kira-kira berumur 75 tahunan ini menyapa:
"Can I help you, Dear?"

"Oh, how much does it cost?" aku bertanya sambil menyodorkan 2 kartu pos.

"Keep it in your pocket!" katanya.

"Scuse me?!"aku kaget. 

"Yeah, just keep it in your pocket, it's free for you!" dia meyakinkan.

OH TUHAN! Aku senang bukan kepalang! Kebahagian besar dapat barang unik gratis di negeri orang terutama buat wisatawan kere sepertiku.

"Oh, thank you very much! Thank you!" kataku berulang-ulang.
"You are welcome!" kata si Kakek.

Aku tinggalkan tendanya dengan salah tingkah dan speechless. Ah, lalu aku teringat aku membawa souvenir pembatas buku wayang. Daaaan...aku ingin bertanya pada Kakek ini tentang pandangannya tentang kebahagiaan. Pasti menarik, pikirku.

Aku kembali ke tendanya.

"Excuse me, Sir. I think I'd like to give you something in return. I've got these little souvenirs from Indonesia and these are for you." aku memberikan 2 pembatas buku.

"Oh, this is Wayang!" katanya.

"You know Wayang?" kataku antara kaget, berbunga-bunga, dan salah tingkah. Sakin groginya, aku lupa tanya kenapa dia bisa tahu. Aku langung meluncurkan target keduaku.

"Anyway Sir, can ask you a favor? I asked some people thought about happiness during my journey. Do you mind to tell me yours? Like, what is the most important thing for you?"

"Oh, yes of course. My wife. Without my wife, I would be very unhappy. And with her, I'm happy. She thinks of me!"

Aku deg-degan mendengar jawaban tulus dari si Bapak.

Jadi, salah satu kebahagiaan menurut orang yang aku temui adalah teman jiwa! Aku berusaha menerima jawabannya apa adanya, tidak menilai dan mengkritisi. Bukankan kebahagiaan tiap orang berbeda-beda?

Mau tahu, apa pendapat orang-orang lainnya tentang kebahagiaan? 

Wait till next story! :)


Saturday 15 April 2017

Awan

Awan itu ajaib banget.
Kok bisa ya air bisa jadi seperti kapas begitu?
Kelihatannya lembut, tapi ketika pesawat melewatinya, rasanya lagi lewat jalanan rusak.

Dia juga bikin langit biru makin cantik.
Bikin teduh, kalau matahari lagi garang.
Dia juga bisa berubah jadi air, menyejukkan bumi.
Jadi pemandangan indah, kalau di pesawat siang hari.

Ah, si awan!
Kalau disentuh langsung, rasanya kayak apa ya?

Pulang kepada Kesederhanaan

Yang paling aku suka dari pulang ke rumah adalah pelajaran akan kesederhanaan.

Rumah orang tuaku tidak banyak berubah dari sejak dulu kami pertama kali pindah. Kalau dibandingkan dengan rumah tetangga, mungkin rumah orang tuaku yang paling jelek kelihatannya. Ketika orang lain berlomba-lomba mempercantik rumah mereka, rumah orang tuaku konsisten sekali. Tapi, justru bikin aku belajar, we don't care about the appearance and we don't care what people think as long as we know that we are doing right

Begitu juga dengan makan. Selama tinggal di rumah, aku jarang sekali jajan. Dari sejak kecil dibiasakan makan di rumah dan bawa bekal ke sekolah. Aku ingat banget, aku perlu kumpulkan uangku beberapa hari untuk bisa 1x makan bubur ayam di sekolah karena penasaran banget rasanya kayak apa. Aku baru kenal namanya fried chicken, pizza, burger, dll itu ketika sudah merantau untuk kuliah. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Kalau pulang ke rumah, aku ga pernah ngeluh dengan apa yang terhidang di atas meja. 

Berbeda dengan kehidupan di perantauan, terutama ibukota, apalagi dengan uang sendiri. Mungkin karena paparan media, kehidupan sosial, dan tuntutan untuk bergerak cepat, membuat aku lebih konsumtif. Oleh karena itu, pulang ke rumah itu adalah pulang pada kesederhanaan. Kesederhanaan yang tetap bisa bikin bahagia dibanding hidup hedon. 


Komitmen

Mengerjakan komitmen itu ternyata susah banget ya?! 
Ketika udah berhasil menjalankan sesuatu dengan konsisten untuk sekian lama lalu sekali jatuh biasanya akan lebih sulit untuk konsisten lagi.
Dalam 2 hari ini sudah 2x gagal dengan alasan yang sama. Rasanya kecewa sama diri sendiri. Muncul perasaan bersalah. Dan semangatnya ga seperti awal-awal menjalankan komitmen. 

Mengerjakan komitmen itu sepertinya memang ga bisa sendiri. Butuh orang lain yang kadang jadi kaca, reminder, sekaligus guru yang galak. Kaca buat memperlihatkan sejauh mana pencapaian kita. Reminder untuk terus konsisten, dan guru galak yang kasih reward ketika berhasil dan hukuman kalau jatuh. Ini namanya motivasi eksternal, yang ternyata ga kalah penting ketika motivasi internal lagi down

Walaupun motivasi eksternal membantu, tetap aja motivasi internal dari dalam diri seharusnya jadi yang lebih besar bukan? Gimana kalau sedang sendiri, tidak ada yang bisa support jadi kaca, reminder, dan guru yang galak? Apalagi ada suara-suara dari dalam diri yang bukannya memotivasi malah bikin tambah terpuruk: 

"tuh kan, kamu gagal lagi", 
"kayaknya kamu ga bisa deh", 
"parah banget sih udah 2 minggu bisa ngejalanin, terus sekarang jatoh". 

Yah, ternyata yang susah itu bukan menjalankan komitmennya, tapi usaha untuk bangkit lagi, lagi, dan lagi setelah jatuh. Seumpama begini: lagi jalan kaki jauh banget dan lalu capek di tengah jalan. Kaki mungkin terasa pegel. Lalu tiba-tiba jatuh. Kita pasti butuh usaha dan energi buat menopang badan lagi, bangkit dari posisi badan yang jatuh ke posisi tegak berdiri. Pastinya dengan tambahan rasa perih dari bagian yang luka, belum lagi rasa malau karna dilihat orang. 

Tapi ingat, ada target jalan di depan mata yang harus dicapai. So just get up, shake off the dust, and keep walking! 


Wednesday 12 April 2017

Tantangan 100 Hari (2)


Habis diskusi sama temenku yang ngajakin challenge 100 hari hidup sederhana makan ga lebih dari 30 ribu kalau di luar dan ga beli barang-barang fashion dan elektronik selama 100 hari. Selain itu selama periode itu, kami juga harus menghabiskan makanan yang ada di piring. Lebih menghargai makanan.

Guess what? Kami ketagihan, dan memutuskan menjadikan ini lifestyle.

Temenku sendiri mengaku dia bisa mengalihkan uang belanja fashionnya buat nolong orang lain. That is so inspiring! 

Next, kita komit untuk kalau mau belanja barang baru (misal baju), kita mesti donasiin 1 baju lama kita yang udah jarang dipakai.

Kita juga masih akan terus berjuang untuk ga buang-buang makanan walaupun makanan yang disajikan mungkin ga sesuai selera. 

Semua ini kami lakukan sebagai bentuk kepedulian kami terhadap lingkungan, value for money, dan gaya hidup konsumtif.

Kali ini sampai 31 Desember 2017!

So, wish us luck!



Tuesday 11 April 2017

Tantangan 100 Hari

Kemarin, tepatnya 10 April 2017, aku dan seorang teman menyelesaikan challenge yang kami buat sendiri. Challenge ini kami lakukan karena terinspirasi dari sebuah artikel mengenai hidup sederhana dan bebas dari pengaruh perilaku konsumtif dan juga kepedulian kami terhadap lingkungan. 

Intinya, dalam tantangan ini, selama 100 hari pertama di tahun 2017 kami tidak boleh:
1. Tidak boleh belanja kebutuhan fashion dan elektronik
2. Tidak boleh makan di luar dengan harga lebih dari 30 ribu rupiah, kecuali 1x dalam semingggu.
3. Menghabiskan makanan yang sudah di atas piring.

Terdengar sederhana, tapi buat aku sendiri lumayan sulit, apalagi dengan gaya hidup perkotaan seperti Jakarta dan baru pulang kembali ke tanah air, di mana acara ketemuan dengan teman-teman lama hampir tiap hari terjadi dan pastinya mengharuskan makan di luar. Namun banyak pelajaran yang aku ambil dari tantangan ini, di antaranya:

1. Membunuh gengsi
2. Aku punya lebih dari apa aku butuh
3. Hemat coy!
4. Sehat
5. Ga terpengaruh sama iklan
6. Kreatif
7. dll (dilanjutin besok) heeheh!


Monday 10 April 2017

Tidur

Aku ingin tidur
Tapi tidak dengan mendengkur
Hanya ingin tutup hari dengan bersyukur
Banyak berkat yang tak terukur

Meski tak tahu berapa panjang umur
Semoga kasihmu tak luntur
Jika aku berkata jujur
Maaf aku hanya ngelantur


Sunday 9 April 2017

Jalan Sendiri (2)

Aku takut banget si orang itu nge-fly terus ga sadar dan berbuat macam-macam atau resiko lainnya, aku ikutan nge-fly pas dia buka pintu kamar mandi yang ada di kamar mandi (mungkin ga sih? ahahhah).

Yah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Aku lihat jam tangan udah jam 10.30 malam. Males banget sebenernya untuk keluar karena capek plus kalo malam gini pasti ujung-ujungnya makan. 

Aku berjalan menyusuri gang-gang tempat aku menginap. Sepertinya kawasan ini memang dirancang untuk tempat wisata kuliner. Menu Asia dan Eropa sepertinya cukup mendominasi. Salah satunya adalah restoran Indonesia. Sayang, dana tidak mencukupi, akhirnya aku memutuskan makan mie dengan beragam topping pilihan di stall Chinese food, style-nya seperti streetfood tapi rasanyaaaaaa...mantab jiwa! (mungkin karena nahan lapar plus lidah asia plus capek).

Makanan sudah habis, tapi aku masih belum berani pulang. Aku perkirakan aku pulang jam 12 malam agar di kamar itu sudah ada orang lain selain aku dan dirinya. Di seberang Chinese food stall itu ada McD. Langsunglah aku meluncur ke sana. Selain numpang duduk juga pengen numpang toilet. 

Waktu berjalan lambat sekali malam itu. Aku sudah bosan sekali duduk-duduk sendirian. Ah, tiba-tiba teringat adikku yang pesan tumbler Starbucks. Lumayan, malam itu jadilah aku pindah ke tiga tempat sebelum pulang ke hostel.

Setibanya di hostel, aku bersyukur yang lain sudah ada di tempat tidur masing-masing. Fiuuuhh! Untung aku hanya booking satu malam di situ. Sisa malam akhirnya kuhabiskan mencari penginapan lain untuk keesokan malamnya dan tidur dengan bau yang aneh dan di atas kasur yang menipis. 


Saturday 8 April 2017

Jalan Sendiri

Aku tiba di stasiun Sloterdijk sekitar jam 7.30 malam, setelah sebelumnya menempuh perjalanan dengan bus dari Brussels. 

Sebenarnya aku sudah lelah sekali malam itu, seharian jalan kaki dengan membawa rucksack-ku kemana-mana di kota Brussels. Namun, google map menunjukkan aku butuh waktu 1 jam untuk mencapai penginapan. 

Well, mungkin karena selama ini sudah sering jalan kaki, aku anggap 1 jam itu jarak yang dekat, dan kupikir tak ada salahnya sekalian menikmati suasana malam kota Amsterdam. Aku mulai berjalan dan sepertinya tidak ada orang lain yang jalan kaki malam itu. Aku melewati bagian tengah kampus (yang aku lupa namanya apa)yang cukup sepi dan orang-orang bersepada lalu lalang. 

Di tengah jalan, aku mencari-cari restoran Indonesia yang katanya cukup mudah di dapat di kota Amsterdam. Aku ketemu beberapa. Berhubung sudah malam dan jalanan sepi, aku ragu apakah masih buka atau tidak. Lagi pula, aku pikir sayang juga masak sampai Amsterdam malam makan makanan Indonesia. Selang beberapa meter kemudian, ada sebuah kios yang menjual makanan Indonesia juga tapi dijajakan seperti di toko es krim dan para pembeli sepertinya take away.

Rasanya campur aduk malam itu, Dingin, lapar, capek (banget) dan ngantuk. Sempat tergoda mampir di restoran China juga, tapi mengingat uangku yang super pas-pasan aku urunkan niat. Oase di tengah perjalanan waktu itu adalah supermarket! Yeay!!! Aku bisa beli susu segar dan roti! 

Setelah keliling supermarket, aku takjub melihat kerupuk udang cukup murah di banding di mana aku tinggal. Restoran Indonesia dan China sudah kulewatkan, aku harus kasih reward lah untuk lidah asiaku. Setelah aku rasa cukup, aku membayar di kasir dan segera keluar. 

Aku sudah tak sabar makan kerupuk udangnya! Akhirnya aku buka dan makan sambil jalan kaki. Entahlah apa yang dipikirkan orang-orang yang berselisih jalan denganku tapi aku benar-benar tidak peduli.

Kakiku akhirnya sudah tak kuat. aku cari bangku-bangku di sepanjang perjalanan dan kutemukan tempat duduk di sebuah halte bis. Tak pikir panjang, aku duduk, dan istirahat sebentar. Karena sudah malam dan dingin, aku tak mau berlama-lama dan segera melanjutkan perjalanan lagi.

Sekitar jam 9.30 akhirnya aku tiba di hostel. Hostel ini baru kupesan sehari sebelum aku tiba lewat aplikasi booking.com. Aku tidak terlalu picky dalam memilih hostel. Yang penting murah dan ada dapur saja, itu prinsipku. Jadilah aku memilih rate paling murah dimana aku harus sekamar dengan 9 orang lainnya.

"Hello" sapaku.
"Hey! Are you from Indonesia? I've been waiting for you!" kata si Mas Penjaga Hostel.
"Yes, I am! But I currently live in Manchester." kataku.
"Oh I see...you're the most beautiful Indonesian staying in this hostel" doi mulai gombal.
"Bwahahaha...yes of course, I'm the only Indonesian here, I believe" aku mulai kesal karena aku cuma pengen kunci kamarku dan tidur.

Huft, setelah basa-basi panjang tentang Indonesia dan rencana si Mas Penjaga Hostel untuk traveling ke Indonesia, akhirnya aku bisa lolos masuk kamar. Aku dapat kamar di lantai 3, lantai paling atas. Huuuuuuuuuuuuuufft! lelahnya! 

Setibanya di anak tangga paling atas, aku agak bingung dengan penomeran pintunya. Tapi berhasil juga kubuka kamarku. 

Ku temukan seorang pria di dalam kamar dengan 10 tempat tidur itu. Sekedarnya kusapa dia, dan kupilih tempat tidur yang paling dekat dengan pintu keluar. Awalnya, aku pikir si cowok ini sedang re-packing. Lama-lama aku curi-curi pandang sepertinya dia sedang persiapan mau nge-ganja. 

"Oh damn! I'm so tired!" pikirku dalam hati. Aku juga bingung mesti apa waktu itu. Sepertinya dia berharap aku keluar kamar dan dia bebas beraktivitas. Setelah sekian menit, dia bertanya 

"Do you wanna use the rest room?"

"No..no...I'm Ok!" Jawabku.

Akhirnya masuklah dia ke kamar mandi dengan segala perlengkapannya dan aku mulai deg-degan...


--------cont'd----------

Keramik

Keramik-keramik mahal duduk dengan anggun di rumah-rumah orang kaya (well, at least menengah). Selain indah, harganya juga ngga murah. Tapi, pernah lihat orang membuat keramik dari tanah liat?

Tanah liat yang coklat dan jelek itu di banting-banting, di puter-puter, di kasih air biar gampang dibentuk, di bakar, dicat, dan dikeringkan baru bisa punya nilai tinggi. Semakin ribet bikinnya, semakin indah jadinya,

Manusia juga kayak gitu kali ya? Mesti dibanting kegagalan, diputer-puter sama kejadian menyenangkan dan menyedihkan, disiram sama penyesalan biar hatinya agak lembut, di bakar pengalaman, dicat pakai pengetahuan biar makin kece?

What a random night!



Thursday 6 April 2017

Solitude

I found myself climbing up to the rocky hill, surrounded by tosca water
No one was there
My view was so wide
Blue, white, and green are the palette of the view

The wind gently touched my cheek and blown my hair
I closed my eyes
From far away, I heard the birds were playing around
I took a long breath in, and breath out
The fresh energy filled up my soul, and let the bad one go

My soul kept wondering how great His art,
I recorded that moment in my mind,
So, I could re-visit it again, and again
No matter how messed up my day 
I climb the hill to have my quite time





Wednesday 5 April 2017

Bukan Urusanmu

Mungkin kadang komentar-komentar di sekitar kita adalah sebuah bentuk kepedulian, tapi sering kali kebablasan. Apalagi kalau diomonginnya ga di depan kita, melainkan dengan orang lain. Mempertanyakan setiap keputusan yang kita ambil, lalu bermain-main sendiri dengan pikirannya. Padahal, tiap orang punya ceritanya sendiri, dan kita cuma tahu seuprit dari cerita itu. Kalau kata seorang temanku: kita ga tau apa yang ada di sepatu orang lain. Mungkin sepatu dia lebih berduri daripada sepatu kita. 

Teringat pengalaman beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seorang tokoh masyarakat dan beliau memperkenalkan istrinya. Dalam hati "wah, istrinya jauh lebih muda, pasti bukan istri pertama." To cut the story short, si Bapak akhirnya cerita bahwa benar, si ibu yang dikenalkan ini bukan istri pertamanya. Berita buruknya, si Bapak berpisah dengan istri pertamanya hanya karena sang mantan istri bilang bahwa ia sudah tidak kuat hidup miskin. Si Bapak menikah dengan istri keduanya berbelas tahun setelah perpisahan itu, dan si Bapak tetap bertanggung jawab membesarkan anak-anaknya. 

Ketika tahu ceritanya lebih dalam, rasanya pengen tabok diri sendiri. Emang mesti melatih otak supaya mikirnya lebih positif. Ga penting juga kalau emang si Bapak punya istri muda misalnya. Ga ada urusan juga,  toh bukan aku yang ngasih makan...hahaha...

Di sisi lain, aku juga sedang belajar yakin terhadap keputusan apapun yang aku ambil dan ga peduli dengan komentar ngga penting dari orang lain (yang sering kali cuma sebatas komentar, dan tanpa solusi), selama itu tidak merugikan dan melukai orang lain. As my role model said "People will judge you anyway, no matter what you do....so, just do whatever you feel right".

Tuesday 4 April 2017

Pak Iksan

Konon katanya "we don't meet people by accident. They are meant to cross our path for a reason".

Demikian juga pertemuan saya hari ini dengan Bapak Iksan yang cuma beberapa menit hari ini ternyata cukup berkesan buat saya. Pak Iksan ini mendapatkan dana hibah untuk menjalankan proyek peningkatan kapasitas guru dan manajemen sekolah di Malang, namun beliau sendiri tinggal di Sidoarjo. 

Memang berinteraksi dengan orang yang passionate terhadap apa yang dilakukan selalu membawa energi positif. 

"Alasan personal saya menjalankan program ini ya sebenarnya untuk berterima kasih pada masyarakat di sana, karena saya lahir di sana, dan karena mereka juga saya bisa seperti sekarang. Jadi, ini waktunya untuk giving back."

"Tantangan terbesarnya apa Pak?" saya bertanya, sambil membayangkan jawabannya pasti sekitar kondisi masyarakatnya.

"Saya tidak pernah klaim perjalanan saya Malang-Sidoarjo-Jakarta untuk program ini. Tapi ya, saya mesti hadir, dukung dan kawal masyarakat, walaupun diinformasikannya biasanya selalu dadakan. Kalau tidak berkomitmen tinggi, ya ini ga akan bisa dilakukan. Jadi komitmen adalah tantangan pertama."

Makjleb! Emang tantangan pertama itu datangnya dari diri sendiri ya! 

Makasi inspirasinya hari ini Pak Iksan! Semoga kapan-kapan bisa main dan lihat programnya.

Monday 3 April 2017

Hygge

Bayangkan pagi ini kamu bangun terlambat karena kemarin lembur mengurus event kantor. Sementara kamu harus tiba di kantor pagi-pagi sekali. Kamu mandi dan ternyata sabunmu habis. Oke, kamu akhirnya mandi tanpa sabun. Kamu bergegas tanpa sarapan dan segera meluncur ke tempat kamu memarkir kendaraanmu. Ternyata, kamu mendapati ban kendaraanmu kempes. 

Kamu berpikir cepat dan memutuskan ke stasiun terdekat untuk naik kereta. Kebetulan ada ojek yang lewat di sekitarmu. Setibanya di stasiun, kamu tidak punya uang pas, dan terpaksa merelakan lima puluh ribu rupiahmu mendarat di kantong abang tukang ojek. Padahal kamu sedang paceklik dan cuma tersisa seratus ribu rupiah di atm menjelang dua hari lagi gajian.

Kereta lewat, dan kamu berlari-lari agar bisa segera naik. Kamu bisa masuk ke dalam karena ada orang yang mendorongmu dari peron. Badanmu terhimpit orang-orang lain, sementara kulit tanganmu perih tergores-gores ujung tas dan perhiasan para perempuan yang berdesakan di gerbong yang sama denganmu.

Akhirnya kamu tiba di kantor. Atasanmu yang jutek tampaknya sedang tidak dalam mood yang bagus. Kamu hari ini harus menyelesaikan proyek yang kamu tidak suka. Hari terasa sangat panjang. Makan siang seadanya dan jam pulang kerja terasa sangat lama. Atasanmu bolak-balik merubah pertimbangannya, yang juga berdampak ke pekerjaanmu yang semakin lambat selesai.

Jam pulang kerja yang ditunggu tiba. Seorang sahabat tiba-tiba mengirim pesan mengundang makan malam bersama. Kalian akhirnya bertemu di rumahnya. Kamu merasa legaaaa sekali. Makanan yang disediakan sesuai seleramu, terlebih kamu makan seadanya hari ini. Sahabatmu juga sangat hangat, ia mendengar ceritamu dengan sangat sabar. Ceritanya juga sangat menenangkan kamu. Teh hangat kesukaanmu sudah tersedia, dan kamu menyandar santai di sofa sambil tertawa-tawa mendengar lawakan temanmu. Bagaimana persaanmu? 

Perasaan nyaman seperti ini dikenal sebagai Hygge (dibaca Huga) di dalam budaya Denmark. Negara dengan tingkat "happiness" tinggi di dunia ini, memiliki konsep "nyaman" atau "cozy" sebagai sebuah kebahagiaan. Sebuah konsep yang sangat sederhana. Mengingatkan aku untuk bersyukur karena masih memiliki tempat berteduh dan juga sahabat, serta keluarga yang bisa menimbulkan rasa nyaman itu meskipun hari-hari dalam kehidupan sedang kacau balau.

Apa yang membuatmu merasakan Hygge dan bersyukur hari ini?


Sunday 2 April 2017

Inspirasi dari Sombori


Sombori, sebuah desa kecil di pelosok ibu pertiwi namun sungguh memikat hati. Desa ini terletak di provinsi Sulawesi Tengah, namun dapat diraih dengan 7-8 jam perjalanan darat/laut dari Kota Kendari. Masyarakat desa ini adalah suku Bajo yang biasa membangun rumah di atas air.

Hari itu, aku dan teman-teman disambut Bapak Kepala Desa atau biasa dipanggil Pak Desa di kantornya. Ternyata, karena kecilnya desa ini, biasanya para tamu seperti kami ditampung di balai desa. Beruntung, Pak Desa memberi kami izin untuk tidur di ruangan kosong di sebelah kantornya yang percaya tidak percaya adalah kemewahan besar untuk para tamu wisatawan.

Sombori, selain alamnya indah, desa ini juga memiliki orang-orang dengan hati yang indah. Pak Desa salah satunya. Pak Desa membuat saya optimis bahwa ada orang-orang lurus dan cerdas yang berjuang buat masyarakatnya, walaupun tiap hari tawaran uang bersileweran di depan mata. Pak Desa sendiri sering ditawari harta kekayaan agar dapat menjual pulau di wilayahnya. Aku juga bisa melihat betapa Pak Desa juga membangun aturan-aturan bagi wisatawan agar kedatangan mereka juga dapat membantu masyarakat setempat, contohnya mandi di rumah warga (tidak semua punya kamar mandi dan air bersih), pesan makan dengan warga, menetapkan tarif untuk tour guide yang merupakan warga setempat. Pak Desa juga dengan bijak mengatur giliran masyarakat yang bertugas agar semua bisa kebagian rezeki.

Aku dan teman-teman juga bertemu dengan nenek dan bapak asli suku Bajo di seberang pulau tempat kami menginap. Nenek dan kakek ini, berjuang menentang penjualan pulau ke pihak lain yang jika terjadi tentu merugikan masyarakat setempat. Hari itu saja, aku dan teman-teman tidak bisa masuk ke sebuah pulau untuk naik ke atas tebingnya, karena pulau tersebut ternyata sudah dikelola dan dikuasai orang lain.

Malam harinya, aku dan teman-teman duduk-duduk dan mengobrol hingga larut malam dengan Pak Guru sekaligus kepala sekolah di desa Sombori. Ternyata hanya ada 5 guru di desa tersebut (termasuk beliau) dan hanya ada 47 anak Sekolah Dasar dari kelas 1 hingga kelas 6. Semangat Pak Guru yang tiap beberapa tahun sekali pindah pulau untuk mengajar benar-benar menyentuh. Pak Guru sendiri bercerita dia juga banyak berubah karena karakter anak-anak. Tadinya Pak Guru adalah orang yang diktator, namun dia menyadari bahwa anak-anak semakin menjauh. Sekarang Pak Guru menjadi sosok yang lebih ramah, suka bercanda dan dekat dengan anak-anak. 

Ahh, kurang lama rasanya di sana. Perjalanan bertemu dengan orang-orang yang berbeda, alam berbeda memang selalu membuat rasa syukur tak henti-hati terucap dalam hati. Semoga bersama orang-orang berhati indah ini, Sombori semakin baik dan membawa manfaat bagi semua orang yang bersentuhan dengannya.




Saturday 1 April 2017

Si Daffodil

Kalau sedang rindu UK begini, aku suka membayangkan sedang musim apa dan suasana alam di sana. Saat ini, UK sudah memasuki musim semi. Musim paling indah buat negara dengan 4 musim. Setelah penantian panjang dari musim dingin yang gloomy dan bikin depresi. 

Bunga daffodil, atau dikenal juga dengan Narcissus sekarang pasti sedang bangga-bangganya nampang di mana-mana. Di jalanan, di taman, di halaman rumah, di vas bunga coffee shop bahkan waktu itu sempat nemu gambarnya jadi dekorasi pintu toilet umum. 

Temanku pernah cerita bahwa sebenarnya di Daffodil atau si Narsis ini sebenernya tidak mati waktu musim-musim lainnya. Akar bonggolnya tetap hidup di dalam tanah, tapi keluar dan berbunga di musim yang tepat. Well, this is pretty much inspiring for me in pursuing a dream. Seperti Daffodil, kita mungkin tidak akan terlihat indah sepanjang waktu. Ada masa-masa kita merasa kering, layu, bahkan kelihatan mati. Tapi, seperti Daffodil juga, jangan sampai mimpi dan passion kita mati, apalagi karena perubahan di lingkungan kita. Just keep your dream burning deep inside your heart. Suatu hari, pada waktunya, mimpi itu  mungkin akan jadi nyata, berbunga indah dan dinikmati banyak orang.  

Sumber: https://www.gardenia.net/rendition.slider_detail/uploads/plant/1430569955-8f415281447211a30/206389.jpg


Wednesday 25 January 2017

Jadi Minoritas adalah Kesempatan

Atasan saya (Inge Inkiriwang) dulu sering bilang "I see opportunity as minority". Beliau adalah atlet sepeda perempuan pertama dari Sumatra Barat yang mewakili Indonesia di ajang olahraga Sea Games. Beliau sendiri bukan orang asli Sumatra Barat yang berpenduduk mayoritas Muslim, melainkan campuran Minang-Chinese-Manado dan beragama Kristen. Namun, meskipun minoritas justru beliau sangat mencintai Sumatra Barat.


Source
Setelah hampir setahun lebih berpisah, saya baru merasakan apa yang dimaksudkan beliau. Akhir-akhir ini dunia dan Indonesia sedang dilanda keresahan akan diskriminasi dan prejudice, yang menimbulkan kecurigaan dan kebencian antar kelompok. Yang minoritas merasa terdiskriminasi, ada pula mayoritas yang merasa terancam akan keberadaan kaum minoritas dan malah merasa lebih minoritas daripada yang sebenarnya minoritas. 

Pengalaman saya hidup di luar negeri dan melakukan perjalanan sendiri justru mengajarkan saya betapa powerful-nya menjadi minoritas. Di kelas saya adalah orang Indonesia satu-satunya. Di beberapa kesempatan voluntering saya juga menjadi satu-satunya orang Indonesia. Demikian pula ketika saya melakukan solo-travel ke beberapa negara di Eropa, saya bertemu, berkenalan, dan berbicara dengan begitu banyak orang dari berbagai negara dan tidak satupun orang Indonesia yang saya temui di hostel maupun perjalanan. Lalu, apa untungnya?

"You are my first Indonesian friend!" itu kalimat yang sering terlontar dari mereka. Saat itu lah saya merasa benar-benar menjadi duta Indonesia. Saya juga bangga saya bisa menceritakan Islam yang positif kepada mereka yang hanya melihat Indonesia dari kasus terorisme dan demo FPI. Di suatu hari, saya juga secara random ikut free walking tour di Amsterdam, dan tour guide saya menyarankan kami untuk mencoba makanan Indonesia dan jadilah saya mengajak mereka mampir ke restoran Indonesia setelah tour berakhir. 

Di kesempatan lain, saya diundang untuk tinggal beberapa hari bersama keluarga Inggris. Hampir setiap malam, saya dan si Bapak ngobrol hingga larut dan kami membahas tentang fenomena minoritas-mayoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kami sepakat, bahwa mungkin terkadang prejudice dan perilaku cepat menghakimi disebabkan karena mereka memang tidak pernah bergaul personal dengan orang-orang yang mereka anggap minoritas dan mengancam keberadaan mereka. Saya terhenyuh saat si Bapak bilang begini "kamu tahu, di umurnya (sang istri) yang sekarang sudah 70 tahun lebih, baru kali ini dia bisa begitu dekat dengan orang yang berbeda ras dan budaya." 

Jadi, menjadi minoritas itu bukan ancaman, melainkan kesempatan. Dengan pertemanan yang tulus, kamu justru punya kesempatan besar untuk menjadi duta kelompok dari mana kamu berasal.