Pages

Friday 25 September 2015

Pelajaran tentang Kesempatan

Dua hari belakangan saya merasa sangat senang karena ada beberapa kejadian yang membuat saya berefleksi tentang kesempatan.

1. Kemarin saya yang sebenarnya cuma modal penasaran masuk ke stand "Open Market" yang diadakan di sebelah student union (semacam basecamp Badan Eksekutif Mahasiswa). Di Open Market ini, para distribusor dan produsen menjual produk-produk makanan seperti roti, keju, telur, buah-buahan, dan olahannya seperti hotdog, sandwich, burger, wraps, dll. Saya datang di pagi hari untuk sekedar lihat dan datang kembali di sore hari ketika sesi di jurusan selesai. Saya mendatangi stand buah-buahan dan membeli 1 pack (isi 8) apel hijau. Ketika terlihat sedikit bingung, seseorang menghampiri saya, 

"Are you OK?". " 
"Ehm, do you have grapes?" 
"Wait a sec! Here it is. It's the last one"
"Wow, lucky me! How much?"
"2 pounds please and these are free for you (sambil memberikan 5 pisang sunpride yang cantik)"
" Ah, thank you very much!"

2. Selama welcome week, hampir di setiap sudut universitas ada orang-orang yang membagikan voucher pizza gratis. Saya memang melihat mahasiswa-mahasiswa lain berseliweran membawa kantong pizza, tapi sayangnya saya tidak pernah bertemu dengan si pembagi voucher. Suatu pagi, saya berjalan menuju Allan Gilbert Learning Commons (Gedung yang sangat nyaman yang didedikasikan untuk mahasiswa belajar dan dibuka 24 jam dalam 7 hari). Di tengah perjalanan saya bertemu seorrang pria dengan segala atribut promosi Domino's Pizza-nya. Dengan tidak malu-malu, saya datangi pria tersebut.

"Hi! Can I have one, please?"
"Just one?" 
"Yeah, one is enough."
"Ok, two for kindess."

3. Hari ini, saya bersiap lebih pagi dan pergi ke perpus. Di hari-hari sebelumnya, saya mendapat selebaran bahwa perpus akan membagi-bagikan textbook gratis di hari ini. Karena tidak yakin dengan jamnya, saya memutuskan datang lebih pagi. Hari ini saya harus berkorban lebih. Berkorban untuk bangun lebih pagi, sarapan hanya pisang dan susu supaya lebih cepat sambil memanaskan mackarell fillet untuk bekal makan siang. Saya tiba di perpus yang masih sepi dan saya bertanya pada petugas 

"Hi, I'd like to ask information about giveaway textbooks mentioned in this brochure"
"Oh, yeah, sure. You just need to sit around, and we'll open the queue line at 10. It's good to come earlier, you will have more choices of books then."

Terbukti benar. Ternyata ga ada anak psikologi lain yang stand by, jadilah saya di barisan no 4 sekaligus anak psikologi satu-satunya yang mengantri. Itu pun karena 2 mahasiswa asia yang memotong antrian di depan saya padahal dia baru sampai ke lokasi sesaat antrian dibuka. What did I get for free? Ini dia!



Jadi, apa lesson learned-nya?

1. It's good to be curious. Rasa penasaran kadang tidak hanya mengiring kita ke jawaban atas pertanyaan tapi juga ke hal-hal lain seperti kesempatan-kesempatan yang tidak kita prediksi.

2. Don't be shy! Ini hal yang masih perlu saya latih. Di kelas saya, hanya sedikit mahasiswa Asia dan mahasiswa keturunan Asia lainnya juga ternyata memang sudah lama berdomisili di negara barat. Kadang ini memunculkan rasa inferior di dalam diri saya. Oh ya, kadang rasa gengsi juga malah menghambat kita mendapatkan sebuah kesempatan.

3. Pay for it! Ada harga yang harus dibayar, tidak selalu dalam bentuk uang. Untuk mendapatkan kesempatan itu, ada hal lain yang harus kita berikan, misalnya waktu, pikiran, prioritas lain, dll.

Okay then, those are my contemplation and reflection for this week. Wait for the next story!

Monday 21 September 2015

My First Week in Manchester




Tak terasa sudah seminggu saya berada di Manchester. Masih ada 1 tahun kedepan yang akan saya habiskan di kota ini untuk menempuh pendidikan lanjutan saya. Satu minggu ke belakang, saya sibuk berkeliling kota mengunjungi tempat-tempat di kota ini. Sebagai new comer, menarik dan menyenangkan sekali mengamati kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal di sini. Sebelum cerita lebih lanjut, inilah check point pertama saya di kampus yang makin hari saya makin jatuh cinta.




Sejauh ini, masalah adaptasi yang paling berat adalah masalah bahasa. Aksen yang digunakan oleh orang Inggris agak berbeda dengan American English yang lebih familiar dengan orang Indonesia. Ditambah lagi, aksen Mancunian (sebutan untuk penduduk asli Manchester) yang kadang terdengar seperti dengungan kumbang di telinga saya.

Terkait makanan, sejauh ini tidak ada masalah karena di kota ini kamu bisa menemukan segala makanan hampir dari segala penjuru dunia. Di kota ini juga banyak pendatang IPB (India, Pakistan, Bangladesh), jadi restoran-restoran ala timur tengah juga sering dijumpai. Restoran dan coffee shop Italia juga banyak. Bagaimana dengan Chinese Food? Di kota ini juga ada China Town dan ada sebuah supermarket bernama WH Lung di dekat kampus yang menjual produk-produk Chinese Food dan Melayu, sampai durian monthong pun ada.

Ada beberapa kebiasaan di tempat umum yang saya kagumi di kota ini.

1. Ketika makan di food court, kamu harus merapihkan bekas makananmu sendiri. Nampan di letakkan di tempatnya. Sampah di masukkan ke tempatnya sesuai jenisnya. Dengan begitu, orang selanjutnya yang akan menggunakan meja kita akan nyaman.



2.  Koran pagi gratis di bus. Jika kamu naik bus di pagi hari, kamu akan menemukan box tempat koran gratis yang bisa kamu ambil dan baca sepanjang perjalanan. Benar-benar simbol pemanfaatan waktu dan penghargaan terhadap informasi ya?!

3. Orang-orang Manchester sangat ramah. Panggilan 'love' adalah panggilan yang sangat wajar. Jadi jangan GR kalau kamu tiba-tiba ada orang yang menyapa "Good morning, Love!" Hahhaha. Saya sudah 2 kali nyasar ke tempat yang cukup jauh. Ketika terlihat bingung, ada ada yang nanyain saya mau kemana. Sopir bus juga sangat membantu.  Walaupun begitu, saya merasa supir bus di Brisbane dan sekitarnya jauh lebih ramah karena mereka selalu menyapa "Good Morning" dan "Have a great day"

4. Bangunan klasik dan museum. Oh, I love them! You can find them everywhere for free!

Ada hal yang disuka, tentu ada hal yang tidak disuka. Apa saja?

1. Cuaca. Suhu udara di sini sangat dingin. Suhu tertinggi selama saya di sini 15 derajat celcius dan terendah 7 derajat dan ini masih musim gugur. Saya masih belum terbayang jika sudah memasuki winter. Lebih dari suhu, masalah utama kota Manchester adalah default weather-nya hujan dan dalam sehari kamu bisa mengalami 4 musim. Pastikan kamu membawa payung atau hoodie jumper kemanapun pergi.

2. Kebiasaan nyebrang sembarangan. Di kota ini ada banyak penyebrangan untuk pejalan kaki dan dilengkapi tombol signal yang menandakan kapan boleh menyebrang dan kapan tidak (seperti di depan Mall Ambassador), tapi sayangnya kebanyakan orang mengabaikan itu dan menyebrang sesuka hati.

3. Sistem transportasi yang belum terintegrasi. Dibanding Jakarta, Manchester masih kalah dibagian sistem transportasi terintegrasi. Apa maksudnya? Kalau di Jakarta, kamu bisa naik Trans Jakarta dan Commuter Line dengan kartu e-money (flazz, dll) yang sama. Di Manchester, kamu akan punya banyak kartu atau tiket. Kamu tidak bisa menggunakan kartu bis mu di kereta atau tram.

4. Pengalihan jalan. Pembangunan di kota ini boleh dibilang ga ada habisnya. Perbaikan jalan, gedung, fasilitas umum, dll. Mungkin memang perlu maintenance yang lebih sering mengingat cuaca di sini sangat labil. Namun, dampaknya adalah pengalihan jalan. Kamu bisa saja turun di suatu jalan pulang ke rumah di sore hari, dan keesokan paginya kamu sudah tidak bisa menuggu bus di jalan tersebut karena sudah mulai di bongkar. 

Baiklah, segitu dulu cerita dari kota Manchester. Agak penasaran, kalau 6 bulan lagi saya baca tulisan ini, apakah masih merasakan hal yang sama.

Wish me luck!