Hari itu, aku dan teman-teman disambut Bapak Kepala Desa
atau biasa dipanggil Pak Desa di kantornya. Ternyata, karena kecilnya desa ini,
biasanya para tamu seperti kami ditampung di balai desa. Beruntung, Pak Desa
memberi kami izin untuk tidur di ruangan kosong di sebelah kantornya yang
percaya tidak percaya adalah kemewahan besar untuk para tamu wisatawan.
Aku dan teman-teman juga bertemu dengan nenek dan bapak asli
suku Bajo di seberang pulau tempat kami menginap. Nenek dan kakek ini, berjuang
menentang penjualan pulau ke pihak lain yang jika terjadi tentu merugikan
masyarakat setempat. Hari itu saja, aku dan teman-teman tidak bisa masuk ke
sebuah pulau untuk naik ke atas tebingnya, karena pulau tersebut ternyata sudah
dikelola dan dikuasai orang lain.
Malam harinya, aku dan teman-teman duduk-duduk dan mengobrol hingga larut malam dengan Pak Guru sekaligus kepala sekolah di desa Sombori. Ternyata hanya ada 5 guru di desa tersebut (termasuk beliau) dan hanya ada 47 anak Sekolah Dasar dari kelas 1 hingga kelas 6. Semangat Pak Guru yang tiap beberapa tahun sekali pindah pulau untuk mengajar benar-benar menyentuh. Pak Guru sendiri bercerita dia juga banyak berubah karena karakter anak-anak. Tadinya Pak Guru adalah orang yang diktator, namun dia menyadari bahwa anak-anak semakin menjauh. Sekarang Pak Guru menjadi sosok yang lebih ramah, suka bercanda dan dekat dengan anak-anak.
Ahh, kurang lama rasanya di sana. Perjalanan bertemu dengan orang-orang yang berbeda, alam berbeda memang selalu membuat rasa syukur tak henti-hati terucap dalam hati. Semoga bersama orang-orang berhati indah ini, Sombori semakin baik dan membawa manfaat bagi semua orang yang bersentuhan dengannya.
Ahh, kurang lama rasanya di sana. Perjalanan bertemu dengan orang-orang yang berbeda, alam berbeda memang selalu membuat rasa syukur tak henti-hati terucap dalam hati. Semoga bersama orang-orang berhati indah ini, Sombori semakin baik dan membawa manfaat bagi semua orang yang bersentuhan dengannya.
No comments:
Post a Comment