Pages

Tuesday 27 August 2013

Secuil Rasa dari Balik Layar Jambore Sahabat Anak 2013

Tulisan ini merupakan isi sebuah surat  untuk memenuhi permintaan seorang sahabat yang sedang bertugas di sebuah desa bernama Lamdesar Barat, Maluku Tenggara Barat.

Januari 2013, tahap baru dalam kehidupanku, dimana aku menyudahi masa baktiku di sebuah perusahaan yang menurutku bukan tempat yang tepat bagi diriku. Di masa-masa aku mempertanyakan kembali keputusan tersebut, kesempatan itu datang lewat seorang seniorku di kampus, yang ketika di kampus juga secara tidak langsung mengajarkan aku menenai visi dan misi hidup. Kak Hanna. Di saat itu, sahabat yang akan ku surati ini lah yang meyakinkan aku juga untuk ikut terlibat disini.

Delapan bulan yang luar biasa sejak Januari hingga Agustus 2013, aku bertemu dan belajar dari orang-orang yang terlibat di Hari Sahabat Anak dan Jambore Sahabat Anak XVII. Tim acara yang sangat bersahabat, panitia besar, pengurus harian, pengajar-pengajar area, dan anak-anak. Rangkaian acara yang cukup panjang dengan sumberdaya yang terbatas.

Banyak kesulitan yang kami hadapi, tapi tidak usah aku ceritakan, apa saja yang kami hadapi, karena kesulitan dan masalah sepertinya adalah hal yang mutlak ada dalam mempersiapkan acara seperti ini.  Ada 2 hal yang menjadi kesimpulanku dari 8 bulan persiapan ini;
  • Pertolongan Tuhan itu cukup dan tepat waktu
  • Masih banyak orang yang peduli. Jika kita banyak mengeluh tentang negeri ini, mungkin justru itu karena kita kurang banyak berbuat.

24 – 25 Agustus, acara puncak dari semua rangkaian kegiatan yang kami lakukan akhirnya tiba. Sesi demi sesi terlewati, dan setiap prosesnya memberikan aku banyak pelajaran berharga. Panitia beserta steering committee dan tim kerja, pengisi acara, volunteer-volunteer pendamping, terutama adik-adik saling menginspirasi di acara Jambore Sahabat Anak. Rasa lelah berdiri, berlari, berpanas-panasan, rasa lapar dan haus tersiram lenyap tiap kali melayangkan pandangan ke hampir 1000 anak dan 500 pendamping berkaos oranye di Bumi Perkemahan Ragunan saat itu. Selama ini, ketika aku menjadi panitia inti atau seksi acara sebuah kegiatan, jarang sekali aku bisa menikmati acaranya karena terlalu fokus pada persiapan teknis dan rundown. Tapi kali ini berbeda, hampir tiap detik berharga bagiku. Walaupun kakiku sangat sakit, hatiku tak berhenti bersyukur. Lewat tulisan ini, aku ingin merekam beberapa momen yang tidak dilihat di atas panggung atau di pos-pos kegiatan, tapi terjadi di parkiran, di samping panggung, dan di bawah pohon.

Sesi Tukar KADO di sore hari Sabtu, sesi yang aku tanggungjawabi ini adalah sesi dimana 23 atlet Special Olympic Indonesia (anak-anak penyandang down syndrome dan tuna grahita) mengunjungi 25 tenda-tenda adik-adik peserta Jambore dan sharing mengenai kesulitan dan prestasi mereka, mereka juga memperagakan olahraga Bocce yang mereka tandingkan di olimpiade untuk anak-anak dengan diffable (different ability). Aku pikir aku tak akan punya kesempatan untuk mendengarkan sharing mereka karena harus keliling tenda dan sesekali berdiri di tengah lapangan kalau-kalau ada yang membutuhkan bantuan. Setelah acara sharing selesai, aku mengantarkan teman-teman SOIna ke parkiran. Ketika tiba di dekat parkiran, tiba-tiba ada seorang anak SOIna bilang Kak, aku seneng banget hari ini, lain kali kalau ada acara ajak-ajak ya Kak

Darah aku berdesir deras lalu menahan tangis ditengah fisik yang udah capek banget hanya tidur 3 jam dan ketika itu sudah sekitar jam  6 sore. Aku melirik nametag-nya. Oh, namanya David Paul.

Malam harinya, tibalah waktunya panggung hiburan. Penampilan pertama adalah panggung boneka dari Team Ceria. Penampilan yang sebelumnya tidak direncanakan dan baru diputuskan 3 hari sebelum hari H. Itupun karena Ka Filia (salah satu pemain) membantu aku mencari pemain sulap yang akan mengisi salah satu workshop. Pertimbangan panitia menampilkan panggung boneka di awal, karena takut kehilangan euphoria anak-anak karena sebelumnya diisi oleh musik dan gerak. Semua itu ternyata tidak terbukti. Panggung boneka sangat seru, meriah, sama sekali bukan sesuatu yang sepi, bahkan kalaupun diletakkan di akhir acara tidak akan membosankan. Di dalam hatiku aku terharu, sementara mataku menatap seribuan tawa anak-anak dan para pendamping yang sedang menonton. Lima belas menit berlalu, durasi habis, dan kami membereskan perlengkapan panggung boneka. Sebelum tim panggung boneka pergi karena harus ke acara lain, aku menyerahkan amplop berisi pengganti transportasi untuk pengisi acara. Yang aku dapati penolakan. Penolakan yang berbeda yang aku hadapi selama persiapan sebelum hari H, dimana para pengisi acara workshop dan acara lainnya menyatakan ‘tidak bisa’, ‘belum bisa dengan dana segitu’, ‘kalau untuk 1000 anak, kami belum sanggup’, atau bahkan tidak ada respon. Namun, kalimat yang aku dapat kali ini ‘Ga usah Pid..inilah pelayanan kami...kembaliin untuk Sahabat Anak aja’.....serius, air mataku sudah hampir keluar, tapi Ka Filia mengingatkan.

Pengisi acara satu per satu tampil, Rainbow, Peduli Musik Anak, Rubato, semua dengan keunikan dan keseruan masing-masing membawa keceriaan malam hari itu. Setelah lagu Bangun Pemuda Pemudi yang kami nyanyikan dengan lantang bersama band Rubato, acara malam ditutup, panitia kembali dengan persiapannya.

Minggu pagi, tanggal 25 Agustus, jam 5 lewat anak-anak sudah banyak yang menunggu di depan panggung utama untuk senam pagi. Luar biasa semangat mereka. Acara games berlanjut setelah sarapan, kemudian penutupan setelah makan siang. Momen besar bagi 10 proyek terbaik KADO (Karya Anak Indonesia), karena akhirnya di siang itu kami semua mengetahui siapa 3 besar dan juara favorit proyek yang dilakukan selama 3 bulan ini. Setelah diumumkan para pemenang, seketika rasa haru berkecamuk di hati melihat kakak-kakak pendamping berpelukan sambil menangis bersama adik-adik, bahagia karena kerja kerasnya berbuah manis. Di kepalaku terputar memori saat-saat persiapan mereka. Tak jarang aku mendapatkan sms malam hari, mendapat laporan bahwa kelompok X sedang berkumpul mempersiapkan proyeknya. Belum lagi saat mengunjungi launching proyek-proyek ini, melihat sendiri tempat belajar mereka, melihat semangat adik-adik dan mendengarkan perjuangan kakak-kakak pendamping. Mereka semua hebat! Menang atau tidak menang.

Mendengar langsung dari para pengisi acara, fasilitator, dan teman-teman lain bahwa mereka terinspirasi dari anak-anak ini juga jadi penawar rasa lelahku. Sebelumnya di sesi games, ada adik yang tiba-tiba nyeletuk “Ih iya Kak, mereka (teman-teman SOIna) hebat banget! Mereka sampe tanding ke luar negeri. ” Ah, ternyata setiap orang saling menginspirasi =)


Indah sekali pelajaran yang aku dapat sepanjang 8 bulan ini. Sangat personal dan tidak semua tergambar dan terungkapkan di dalam tulisan ini, tapi biarlah rasa syukur ku naikkan kepada Tuhan yang dengan caranya telah memberiku kesempatan ini. Well, now I’m ready for the next lesson =)

Friday 2 August 2013

Dieng: Abode of God

After so many times of cancellation since last year, finally I went to Dieng with quite bad feeling and tiredness because I just came back form my tiring job duty to Sumatra two days before this trip. Though, my curiosity about Dieng killed my body need to get rest. The name "Dieng" comes from Di Hyang which means "Abode of the Gods" (wikipedia). Dieng is located in East Java, near to Wonosobo.

'Festival Culture Dieng' is my biggest reason to do this trip on that day because it just happens once a year. What is special about it? In Festival Culture Dieng, we can see the process of the "Anak Rambut Gembel" have their hair cut.

Anak Rambut Gembel (Dreadlock hair Kids) are the kids who were born and growth in Dieng area who have dreadlock hair. Their hair is not intended to be dreadlocks, but it grows naturally. Commonly, the hair were normal when the kids were just born, but when they grow older the hair changes and the kids will get a fever. There is a magic story about this phenomenon. Society believe that it will bring a bad luck for them, so the kids should have their hair cut when they are about 7 years old. There is a requirements to do that: the parents should grant all of the kids request because the hair can't be cut if the request hasn't fulfilled yet.

So, that was my mission visiting Dieng on last June, and here are my report.

 The night of the festival:


Fire camp


Lantern Festival
Fireworks




It's very cold at Dieng, I can't tolerate it to stay outside for a long time, so I and friends went to our homestay and sleep because we had to wake up about 2.a.m and trekked to Sikunir Top at 3.p.m.

Our homestay owner said that it was 9 degrees Celsius and it could reach under 0 degrees Celsius on August. Brrrr.....I think it will be easy for Dieng people go to 4-season country in winter, haha...

We're success to wake up at three, and oh my....trekked for an hour at 3 a.m was so challenging. Three of my friends reached the top faster than me...fortunately, there were many people around so I wasn't afraid.

Taraaaa....top of Sikunir Mount! with Sindoro Mount behind us..


These are the view on the way but we didn't see it for we walked at darkness before..

Telaga Cebong
Telaga Cebong

Traditional performance greeted us in the morning
This is the original fruit from Dieng, they called it Carica. They said that if we plant it outside Dieng, it will grow as Papaya. Strange, isn't it?
Carica

After the failed sunrise hunting and before we attanded the Rambut Gembel Ceremony, we visited this Telaga Warna (Coloured Lake)

Telaga Warna
We were very lucky that our homestay were passed by the procession.


Actually, I recorded it as video, but I can't publish it yet...
And theeeen....even the Slovakia ambassador for Indonesia, Stefan Rozpokal and his daughter attended this ceremony.


The ceremony was held at Arjuna Temple Complex:
This kid had had his hair cut in the ceremony


This girl hasn't had her hair cut yet



There are several place in Dieng that I haven't visited yet like the most famous one: Kawah Sikidang, and I hope the next trip to Dieng, God will let me see the Sunrise at Sikunir :)

Ujung Kulon : Row Your Boat!

.....day 1....

Not to much agenda and story in the second day at Ujung Kulon. Hunting for sunrise and canoeing at Cigenter river were the target of the day.

I don't know why, but I was never lucky seeing perfect sunrise when I was traveling out of Jakarta, and the same one happened when I was at Ujung Kulon. 


Back to homestay, took a shower and had breakfast, packed our bag and got ready for my first canoeing experience. Yuhuuu!!! Ehm, I made a video while canoeing but it still needs some cutting and I still find out how to do it, so I can't post it now.

Before canoeing, we have to picked up the canoes at Handeleum Island:



At Cigenter, we expected to meet One-horn Rhinoceros and river crocodile, but we just met a green snake in a tree :(

It was very hot and the sun bit our skin, but we still had fun.

f

Tired of canoeing and it's already lunch time, we attacked the food that has been cooked by the ladies of Ujung Kulon. Actually they live at Sumur and frequently go to Peucang Island just for cooking food for the tourists who comes there.

this pic was taken by Mba Ella :)



That was not very end of the journey, some friends did snorkeling at one spot on the way to Sumur, but I just sat on the boat because I was to lazy to change my clothes and they said the underwater view was not special so I didn't regret it.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bonus! Here are some random pictures from the previous day, hope they can give you description about Ujung Kulon. Enjoy!

Small fish near the harbor 






Scary Piggy!

Home-stay