Source |
Pengalaman saya hidup di luar negeri dan melakukan perjalanan sendiri justru mengajarkan saya betapa powerful-nya menjadi minoritas. Di kelas saya adalah orang Indonesia satu-satunya. Di beberapa kesempatan voluntering saya juga menjadi satu-satunya orang Indonesia. Demikian pula ketika saya melakukan solo-travel ke beberapa negara di Eropa, saya bertemu, berkenalan, dan berbicara dengan begitu banyak orang dari berbagai negara dan tidak satupun orang Indonesia yang saya temui di hostel maupun perjalanan. Lalu, apa untungnya?
"You are my first Indonesian friend!" itu kalimat yang sering terlontar dari mereka. Saat itu lah saya merasa benar-benar menjadi duta Indonesia. Saya juga bangga saya bisa menceritakan Islam yang positif kepada mereka yang hanya melihat Indonesia dari kasus terorisme dan demo FPI. Di suatu hari, saya juga secara random ikut free walking tour di Amsterdam, dan tour guide saya menyarankan kami untuk mencoba makanan Indonesia dan jadilah saya mengajak mereka mampir ke restoran Indonesia setelah tour berakhir.
Di kesempatan lain, saya diundang untuk tinggal beberapa hari bersama keluarga Inggris. Hampir setiap malam, saya dan si Bapak ngobrol hingga larut dan kami membahas tentang fenomena minoritas-mayoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kami sepakat, bahwa mungkin terkadang prejudice dan perilaku cepat menghakimi disebabkan karena mereka memang tidak pernah bergaul personal dengan orang-orang yang mereka anggap minoritas dan mengancam keberadaan mereka. Saya terhenyuh saat si Bapak bilang begini "kamu tahu, di umurnya (sang istri) yang sekarang sudah 70 tahun lebih, baru kali ini dia bisa begitu dekat dengan orang yang berbeda ras dan budaya."
Jadi, menjadi minoritas itu bukan ancaman, melainkan kesempatan. Dengan pertemanan yang tulus, kamu justru punya kesempatan besar untuk menjadi duta kelompok dari mana kamu berasal.